Perjalanan Artistik Debbie Tea
Debbie Tea meyakini bahwa ketertarikannya pada seni visual dimulai ketika orang tuanya memberi Debbie buku mewarnai ketika dirinya masih di Taman Kanak-Kanak. Proses mengisi gambar dengan warna itulah yang awalnya membuat Debbie tertarik. “Sepanjang masa sekolah, dari SD hingga SMA, saya menyibukkan diri dengan membaca manga, komik, dan menonton anime. Cerita dan visual dalam media ini benar-benar memikat saya,” Debbie bercerita soal dirinya yang semakin larut pada karya visual.
“Ada suatu masa di SD ketika saya terobsesi dengan Sailor Moon karya Naoko Takeuchi. Saya ingat menghabiskan banyak waktu di sore hari, terkadang hingga malam hari, berlatih dengan menyalin gambar langsung dari halaman manga Sailor Moon,” Debbie mengisahkan sembari tertawa. Lambat laun, kemampuan menggambarnya meningkat hingga dirinya mulai menggambar berbagai karakter bergaya anime dari manga selain Sailor Moon.
Ketika Debbie lulus SMA, Debbie berkeinginan untuk mengejar karir sebagai komikus atau desainer. Dengan pengetahuan yang sangat terbatas yang Debbie miliki saat itu, ia mendaftarkan diri di program studi Animasi. Di tahun terakhir studinya, ia menyadari bahwa itu bukanlah hal yang ia sukai. Debbie kemudian menyadari bahwa dirinya lebih suka membuat gambar diam. Dalam pandangannya, tugas membuat gambar bergerak benar-benar membuatnya frustasi dan menurutnya pengulangan menggambar karakter yang sama ratusan kali untuk satu animasi pendek sangatlah membosankan.
Beralih fokus, kemudian Debbie melanjutkan studi fotografi seni murni. Hal tersebut berawal dari seorang teman sekelasnya yang memperkenalkan lomografi kepada Debbie. Ia terpukau melihat cetakan dari kamera Holga. Bagi Debbie, periode itu menandai babak lain dalam perjalanan artistiknya. Menekuni fotografi tidak hanya memperdalam kecintaan Debbie terhadap medium tersebut, tetapi juga secara signifikan mengubah dirinya sebagai pribadi dan perspektifnya sebagai seorang seniman.
Fotografi menjadi bagian besar dalam hidup Debbie dan membawanya pada masa-masa depresi atas berbagai alasan. Setelah lulus, Debbie memutuskan untuk beristirahat sejenak serta menikmati momen-momen yang lebih tenang. Ia menjauh dari pemikiran berlebihan dan berkarya secara terus-menerus. Secara mengejutkan, periode refleksi ini menghidupkan kembali hasrat Debbie untuk menggambar. Alih-alih hanya untuk bersenang-senang, membuat ilustrasi justru kini menjadi bagian dari profesinya. Menurut Debbie, pada akhirnya, Debbie mendapati bahwa dirinya tertarik baik pada fotografi maupun ilustrasi. Ia beranggapan bahwa membuat foto terasa sealami bernapas, sedangkan membuat ilustrasi seperti memecahkan teka-teki yang mendorongnya untuk maju.
Dalam urusan gaya visualnya, Debbie mengatakan bahwa apa yang ia konsumsi selalu mempengaruhinya dalam beberapa hal. Di awal ketika ia menyukai anime dan manga, gaya visual Debbie sangat dipengaruhi oleh hal tersebut. Kemudian, saat dirinya mendalami kartun dan animasi, karakternya pun berubah. “Saya juga ingat menghabiskan banyak waktu bermain video game, seperti tycoon games di Windows dan JRPG [Japanese Role-Playing Game] di konsol seperti Playstation. Seringkali saya membayangkan membuat JRPG sendiri, mendesain cover, dan adegan video game, semuanya digambar di MS Paint,” Debbie menceritakan sembari kembali tertawa.

Saat memulai karir profesionalnya sebagai ilustrator, pengaruh-pengaruh tersebut tetap melekat pada pengembangan gaya visualnya. Pada awalnya, ia selalu memilih garis hitam tebal dalam membuat ilustrasi dan hal tersebut menjadi kekhasan yang ia terus bawa sampai saat ini. Bagi Debbie, penggunaan satu warna akan lebih efisien dan praktis, terutama dalam mengubah gambar menjadi produk fisik. Namun pada perkembangannya, Debbie kini mulai bereksplorasi dengan warna. Periode NFT menjadi pintu masuk Debbie pada eksplorasi visual tersebut.
Selepas lulus kuliah, Debbie menciptakan Pantainanas sebagai sebuah proyek pribadinya. Menurutnya, Pantainanas lahir secara organik dan tidak diniatkan menjadi apa yang orang sebut sebagai art merch brand. Pantainanas juga hadir pada masa-masa refleksi Debbie selepas studi fotografi. Awalnya, ia pikir Instagram adalah platform yang kurang pas dan justru menurunkan nilai karyanya. Namun, melihat orang-orang di sekitarnya menggunakan media sosial tersebut, Debbie pun mulai mengunggah coretan-coretannya di sana tanpa ekspektasi apa pun.
“Yang mengejutkan saya, keputusan ini menandai titik balik dalam hidup saya. Respon yang saya terima melampaui apa pun yang saya bayangkan, menghidupkan kembali hasrat saya terhadap seni. Apa yang awalnya merupakan coretan biasa dan tersebar di mana-mana secara bertahap berubah menjadi lebih serius, berkembang menjadi proyek komersial, dan pada akhirnya, desain produk. Jumlah pengikut saya bertambah, begitu pula tawaran pekerjaan. Tanpa saya sadari, Pantainanas telah bertransformasi menjadi sebuah merek, sebuah perkembangan yang tak terduga sekaligus mendebarkan,” Debbie menjelaskan.
Pantainanas menjadi bagian penting dalam karir Debbie. Pengalaman dalam menjalankan dan mengembangkan Pantainanas telah membawa Debbie pada perkenalan dengan banyak seniman dan desainer yang turut memperluas wawasan Debbie. “Namun, karena tuntutan studi yang kini menjadi prioritas, Pantainanas terpaksa saya tunda karena tidak mungkin saya bisa memberikan perhatian penuh pada keduanya secara bersamaan. Saya sangat rindu mengerjakannya dan tidak sabar untuk kembali lagi dalam waktu dekat,” ucap Debbie.
Saat ini Debbie sedang menempuh gelar master di bidang Graphic Storytelling di Brussels, Belgia. Setelah menghabiskan sekitar delapan tahun sebagai ilustrator komersial, Debbie merasa di titik dirinya merasa tersesat dan stagnan secara kreatif. Keinginan untuk kembali ke dunia pendidikan sudah muncul sejak beberapa waktu lalu. Hal tersebut adalah upaya untuk melepaskan diri dari pola pikir dan teknik artistiknya yang sudah terpatri. Ia merasa perlunya bimbingan dan lingkungan akademis. Debbie mengaku, “Sekarang, setelah hampir lima bulan berlalu, saya bersyukur telah mengambil langkah yang menakutkan ini.”
Walau tak sepenuhnya ideal dari apa yang diperkirakan, bagi Debbie, pengetahuan dan pengalaman yang sejauh ini didapatkan di lingkungan akademis telah membantunya dalam melepaskan diri dari pola-pola kreatif lamanya. “Sebelumnya, saya tidak pernah membayangkan diri saya membuat komik, apalagi mempelajari sejarah dan teorinya. Tapi sekarang, saya melakukan semua itu dan sangat menikmati prosesnya, meski terkadang ada tantangan yang dihadapi,” ungkap Debbie.
Perjalanan tersebut telah banyak mempengaruhi pada pengembangan proses dan pemikiran artistik Debbie. Lewat pengalaman tersebut, Debbie membentuk kembali caranya dalam menciptakan, memahami, dan memanfaatkan elemen visual serta terlibat dengan subjek dalam karyanya. Debbie mengatakan, “Saya merasa seolah-olah saya sedang bergerak menuju arah baru yang menghidupkan kembali kegembiraan dan semangat saya untuk berkreasi.”
Saat ini, Debbie merasakan keinginan yang tinggi untuk melihat kembali teknik manual. Ia merasa perjalanan awalnya ke dunia seni sangat dipengaruhi oleh prioritas komersial, sehingga hanya menyisakan sedikit ruang untuk eksplorasi teknik menggambar secara mendalam. Setelah kembali bersekolah di mana ruang eksplorasi terbuka lebar, Debbie mengevaluasi kembali pendekatan artistiknya dan secara aktif mencoba teknik-teknik baru yang gayanya saat ini.
Debbie kini sedang mengerjakan proyek pribadinya yang jauh lebih dalam dan substansial daripada yang biasanya ia lakukan. Pada proyek yang akan datang ini, ia memerlukan banyak riset dan eksperimen. “Masih terlalu dini untuk menyampaikan detailnya, namun menurut saya prosesnya—yang penuh dengan trial and error—menyenangkan dan menantang. Saya memikirkan berbagai hal seiring berjalannya waktu dan belajar banyak tentang topik yang saya fokuskan, baik dari segi aspek teknis maupun konten,” menutup percakapan.