Benang Merah Alasan Pekerja Kreatif Indonesia Berkarir di Luar Negeri
Banyak pekerja kreatif di Indonesia yang mempertimbangkan untuk bekerja di luar negeri. Dalam artikel ini, kami mencoba melihat mengapa demikian dan apakah ada benang merah di antara alasan mereka untuk menempuh karir di luar Indonesia dengan berbincang bersama 5 pekerja kreatif Indonesia.
Penafian: Seluruh wawancara dilakukan pada Maret 2022
Tidak sedikit pekerja kreatif Indonesia mengejar karir di luar negeri setelah menempuh studi di sana. Salah satu contohnya adalah Kiara Hambali, seorang junior creative di advertising agency, Proud Robinson & Partners, yang berbasis di London. Kiara menempuh pendidikan diploma di Nanyang Academy of Fine Arts (NAFA) di Singapura yang dilanjutkan dengan program pertukaran pelajar di Leeds Arts University (LAU) di Inggris dalam jurusan Creative Advertising selama 2 tahun. Dia juga memiliki pengalaman magang di Singapura selama 2 bulan dan di Indonesia di BBDO dan VMLY&R. Kemajuan industri kreatif di Inggris berperan besar dalam keputusannya berkarir di sana, tetapi dia juga telah diarahkan untuk mendapatkan pengalaman kerja di luar negeri oleh ibunya sejak awal. "Coba go for a couple of years nanti terserah baliknya kapan," tutur Ibunya. Meskipun ibunya memiliki pengaruh besar atas keputusannya untuk tinggal di London, Kiara sendiri juga sudah sangat beradaptasi dengan industri dan budaya di Inggris dan merasa susah untuk membayangkan dirinya kembali dan bekerja di industri kreatif Indonesia.
Senada dengan itu, Gerson juga merasa gelisah saat kembali ke Indonesia. Gerson Gilrandy adalah seorang desainer grafis dan penggemar grafiti yang berasal dari Jakarta. Meski telah menempuh pendidikan diploma di Jakarta, ia melanjutkan pendidikannya di NAFA, Singapura. Setelah lulus, ia tinggal dan bekerja sebagai desainer grafis penuh waktu selama 7 tahun sebelum kembali ke Indonesia ketika visa kerjanya tidak dapat diperpanjang lagi. Untuk Gerson, yang bukan hanya seorang desainer grafis tetapi juga seorang seniman yang suka melukis, ilustrasi, dan membuat mural, ia merasa bahwa bekerja di Singapura memungkinkan dia untuk mengejar hasratnya dan tetap mencari nafkah. Baginya, Singapura sepertinya adalah lingkungan yang sangat kondusif untuk mengejar seni dan desain.
Ketika dia kembali ke Indonesia, dia kaget karena gaji desainer di Indonesia pada saat itu, sekitar tahun 2013, lumayan rendah dibanding Singapura dan dia harus mengambil banyak pekerjaan freelance untuk dapat tetap bertahan. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk segera mencari pekerjaan di luar negeri lagi atau membuka studio sendiri di Indonesia dan menabung untuk dapat melanjutkan studi serta bekerja di luar negeri. Pada awalnya dia langsung mencoba untuk mendaftarkan diri untuk program S2 di beberapa universitas di Inggris, termasuk University of the Arts London (UAL). Tetapi, saat dia mendaftar diri untuk beasiswa LPDP, aplikasinya tidak diterima. Sebenarnya Gerson merasa sedikit lega aplikasi tersebut tidak diterima karena pada awal pendaftarannya, Gerson belum menyadari bahwa mahasiswa yang menempuh studi di luar negeri dengan bantuan beasiswa LPDP wajib untuk kembali ke Indonesia setelah kelulusan mereka sementara tujuannya menempuh studi di luar adalah agar ia bisa dapat berkarir di luar Indonesia. Dari situ dia mulai berusaha menabung dan dia menjadi salah satu pendiri studio desain yang berbasis di Jakarta, Roots & Co. Setelah beberapa tahun bekerja, akhirnya pada tahun 2019 dia melanjutkan studinya di Melbourne, Australia untuk menempuh program S2 di Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT). Sekarang dia bekerja di Tuckshop Agency, sebuah branding agency di Melbourne sejak kelulusannya.
Ardo Sitompul juga menempuh pendidikan desain grafis di luar negeri. Ardo adalah seorang desainer grafis yang saat ini bekerja untuk Attraction Studio, sebuah agensi kreatif di Christchurch, Selandia Baru. Saat di Indonesia, ia sebenarnya pernah menempuh S1 dalam jurusan Psikologi karena orang tuanya tidak menyetujui dia mengejar gelar S1 dalam jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV). Bertahun-tahun kemudian, ia mendaftarkan diri untuk program Advanced Diploma dalam jurusan desain grafis di Selandia Baru. Tidak ada banyak pemikirannya untuk mengejar karir di Indonesia. Berdasarkan desas-desus dari teman-temannya di Surabaya yang juga sesama desainer grafis, Ardo merasa bahwa pasar desainer grafis Indonesia mungkin terlalu padat dan kurang dihargai saat itu. Dia juga menemukan bahwa dia benar-benar cocok dengan lingkungan kerja di Selandia Baru dan hal itu semakin menguatkan keputusannya.
Seperti Ardo, gelar sarjana Senny Sanjung sangat sedikit berkaitan dengan seni visual––dia malah mengambil jurusan Akuntansi. Senny adalah ilustrator lepas yang sekarang berdomisili di Berlin, Jerman. Setelah kelulusannya, dia memutuskan untuk memulai bisnis kue sendiri sebelum bermigrasi ke Finlandia. Senny awalnya berpindah ke Finlandia ketika suaminya mendapatkan pekerjaan di sana sebagai desainer UI/UX. Bagi mereka berdua, hal yang paling penting adalah mengejar kehidupan yang lebih baik di luar negeri. Senny sebenarnya memulai karirnya sebagai ilustrator melewati program integrasi Finlandia yang membantu keluarga imigran mendapatkan pekerjaan di negara tersebut. Selama program itu, dia memutuskan untuk magang di rumah produksi dan penerbit. Ketika suaminya mendapat tawaran pekerjaan lain di Berlin, Senny mengikutinya dan pekerjaannya sebagai ilustrator paruh waktu ikut berpindah bersamanya.
Sebaliknya, bagi Celcea Tifani bekerja di luar negeri adalah soal memenuhi keinginan yang tidak terlalu terkait dengan keharusannya ia berada di luar negeri dan lebih berhubung dengan apa yang menurutnya Surabaya tidak memberikan kepadanya sebagai seniman. Celcea adalah seorang desainer grafis yang saat ini berdomisili di Surabaya. Dia memiliki pengalaman 5 tahun bekerja di Shanghai untuk advertising agency asal Australia, Paper Stone Scissors, yang memiliki cabang di sana. Celcea sebelumnya menempuh kuliah di Universitas Kristen Petra dengan jurusan DKV. Bahkan di masa-masa awal di sana, dia sudah merasakan kehausan yang sepertinya tidak bisa dipuaskan oleh skena kreatif Surabaya. Jadi, di tengah tahun kedua sarjananya, dia mulai mempersiapkan portofolio untuk mengejar gelar S2––dia diterima di Chelsea College of Arts, bagian dari UAL dan berangkat ke Inggris hanya beberapa hari setelah wisuda. Meskipun dia berusaha untuk mencari kerja di Inggris setelah menyelesaikan studinya, situasinya lumayan sulit karena pada saat itu Inggris tidak menyediakan graduate visa yang dapat memberikannya waktu sekitar 2 tahun untuk mencari pekerjaan di sana. Akhirnya, Celcea mendapat kesempatan untuk magang desain di Amsterdam selama empat bulan.
Setelah menyelesaikan magangnya di Belanda, dia kembali ke Indonesia dengan harapan dan idealisme untuk membawa semua hal yang ia pelajari dan membuka studionya sendiri. Seperti Gerson, Celcea juga banyak mengambil pekerjaan freelance untuk penghidupan. Dia juga memulai proyek pribadinya, Pertigaan Map. Bekerja dengan Anitha Silvia, Pertigaan Map adalah proyek pembuatan peta pejalan kaki Kota Tua Surabaya yang mencerminkan sisa jejak kolonialisme Belanda. Proyek ini terinspirasi dari pengalaman Celcea magang di Belanda. “Orang di Belanda suka peta dan … aku sendiri suka – suka tahu aku di mana,” Celcea menjelaskan. Walau dia sangat semangat mengerjakannya, proyek ini tidak terlalu menghasilkan dalam aspek finansial.
Akhirnya dia terpaksa mencari kerja di luar negeri lagi karena sulit untuk bisa menafkahi diri dan menabung dengan gaji desainer di Indonesia. Dia mulai mencari lowongan kerja sebagai desainer di luar negeri tanpa pilihan negara tertentu. Dari Australia ke Afrika Selatan, dia mengirim portofolionya ke berbagai macam lowongan yang dia temui. “Let’s see how far this portfolio goes.” ucapnya. Cabang Shanghai Paper Stone Scissors melihat portofolionya dan langsung memintanya untuk wawancara. Beberapa hari setelah itu, dia mendapat konfirmasi bahwa dia mendapat pekerjaan itu.
Meskipun setiap orang memiliki beragam alasan untuk menempuh karir di luar negeri, faktor gaji berperan penting dalam keputusan tersebut. Semua pekerja kreatif yang diwawancarai setuju bahwa tenaga kerja kreatif sangat kurang dihargai di negara kita dan hal itu dicerminkan lewat kecilnya gaji. Seperti yang dikatakan Gerson dan Celcea, rasanya tidak mungkin menjadi pekerja kreatif dan bisa menabung di Indonesia pada saat mereka memutuskan untuk berkarir di luar negeri. Bukan hanya sekedar gaji, budget untuk proyek pun kadang terlalu sedikit.
Senny juga menjelaskan bahwa, sebagai ilustrator paruh waktu, sepertinya lebih banyak kesempatan kerja di Eropa dibanding di Indonesia dari apa yang dia dengar dari forum-forum dan komunitas ilustrator di Indonesia. Dari segi harga pun sepertinya ilustrator Indonesia belum berani untuk menagih lebih banyak dan ini mungkin terpengaruh oleh kebiasaan klien Indonesia untuk negosiasi harga. “Kasih harga temen dong,” atau “Minta diskon keluarga ya,” bukan hal yang asing didengar oleh pekerja kreatif freelance di Indonesia. Ardo pun sering mendengar hal yang sama dari teman-teman desainernya yang berdomisili di Surabaya. Ia juga berkomentar bahwa klien di luar negeri berani memberi budget yang lebih besar karena mereka percaya bahwa pihak desainer akan mengeksekusikan brief sebaik mungkin.
Kepercayaan ini meluas ke seberapa besar kebebasan yang diberikan ke desainer oleh klien. “Kalau di Indo, desainer itu lebih jadi eksekutor dibanding desainer,” Celcea jelaskan. Tentu peran klien lumayan besar di setiap proyek, tapi klien di luar negeri punya keyakinan dalam kapabilitas sang desainer. Gerson juga merasa bahwa kebiasaan intervensi dari pihak klien lumayan menghambat perkembangan industri kreatif Indonesia. “Majority klien di [Indonesia] sangat sulit diedukasi,” ia jelaskan, “Indonesia itu sangat kaya akan budaya, tapi sayangnya yang diimplementasikan sekarang budaya-budaya ini tertutup dengan hukum-hukum beberapa oknum yang takut dengan taboo atau, ‘Ah ini nggak boleh, ah kalau gini nggak kejual’ yang kaya gitu itu yang sangat mematahkan kreativitas si seniman.” Gerson merasa bahwa klien di luar sangat open-minded dengan ide apapun yang dibawa oleh sang desainer. Di sisi lain, Kiara justru merasa bahwa, tipe klien di Indonesia dan di Inggris beda tipis. “Klien maunya duit lebih banyak tapi the agency wants to make award winning work.”
Saat ditanya apa menurutnya hal yang dapat membantu membujuk pekerja kreatif untuk diam dan berkarir di Indonesia, Celcea mengungkapkan bahwa dia merasa industri kreatif di Indonesia apalagi di bidang desain grafis memiliki elemen eksklusivitas. “Kamu tuh gaul ngga sih?” ucap Celcea. Menurutnya ini sangat menghambat peningkatan keragaman di bidang desain grafis karena itu membatasi ruang lingkup apa artinya menjadi seorang desainer grafis. “Everyone has the right to become a graphic designer,” imbuhnya. Dia juga merasa meskipun ada langkah-langkah yang diambil pihak pemerintah maupun klien untuk membaiki industri kreatif Indonesia, klien dan pemerintah masih kurang bisa “jalan bareng”. Namun, nyatanya pendanaan masih kurang dan para desainer grafis harus bisa diyakinkan bahwa industri kreatif Indonesia itu berpotensi besar. Kiara juga merasakan hal yang sama. Isu gaji masih relevan. Tetapi harus juga ada keberanian dari pihak klien untuk merangkul ide-ide dari pekerja kreatif dan mempercayai eksekusi mereka. Dari situ desainer dapat membangun kepercayaan mereka terhadap potensi industri kreatif Indonesia.
Gerson juga mengungkap sentimen yang sama tentang masalah kepentingan koneksi dan networking di mana kerja kreatif itu hanya bisa didapatkan oleh pekerja kreatif yang memiliki banyak koneksi dibanding pekerja kreatif yang lebih kompeten dalam disiplin ilmu ini. Tetapi dia juga merasa bahwa sebenarnya sudah banyak progres dari organisasi seperti Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) dan adanya Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF). Gerson berasa sangat bangga dengan senior-seniornya di Indonesia yang sudah mau berkomunikasi dengan pemerintah.
Meskipun dia sependapat dengan Gerson, Ardo merasa masih ada kesenjangan pendidikan tentang industri kreatif Indonesia dari organisasi-organisasi tersebut. Namun, dia juga memperingatkan kita untuk menerima pendapatnya mentah-mentah karena dia sudah tidak aktif bekerja di kancah desain lokal untuk beberapa waktu. Ada langkah-langkah kecil yang dibuat ke arah yang tepat tetapi masih ada kekurangan upaya bersama. Ada banyak pekerja kreatif terampil di Indonesia yang menganggur dan tidak dihargai, sehingga mereka akhirnya mencari pekerjaan lepas jarak jauh dari klien di luar negeri. Sama seperti Celcea, Kiara, dan Senny, mereka berdua juga memperimbangkan kepentingan gaji yang cukup.
Ketika Gerson ditanya apakah dia merekomendasikan pekerja kreatif untuk berkarir di luar negeri dia langsung menjawab dengan antusias, “Harus banget, harus harus banget!” Dia menjelaskan bahwa banyak sekali yang didapatkan dari pengalamannya bekerja di luar negeri seperti kultur kerja dan wibawa yang mungkin dia tidak akan dapat jika dia menetap di Indonesia. Dia menyarankan bahwa pekerja kreatif harus memiliki strategi jitu bagaimana mereka ingin berkarir di luar negeri. Penelitian sangat penting. Riset industri kreatif di kota pilihan Anda dan pantau perkembangannya. Ketentuan visa juga hal yang harus dipelajari dengan baik. Contohnya, saat dia mempertimbangankan melanjutkan studinya di Melbourne, Gerson sudah mengamati prospeknya di sana setelah kelulusannya seperti ketersediaan graduate visa setelah kelulusan untuk memberinya waktu untuk mencari pekerjaan.
Kiara sangat menekankan pentingnya kepercayaan diri. “Everyone's faking it until they’re making it.” jelasnya. Dia merasa pekerja kreatif Indonesia cenderung meremehkan potensi diri sendiri sebagai pekerja kreatif hanya karena mereka dari Indonesia. Ardo dan Celcea juga merasakan hal yang sama. Celcea menceritakan bahwa dia dan teman-temannya memiliki candaan di mana orang Indonesia itu sering duduk dan bercerita panjang memuji pekerja kreatif di luar negeri sampai mereka hilang fokus pada pekerjaan mereka sendiri. “Don’t just say it, do it,” katanya. Ardo juga ingin menegaskan bahwa sebagai pekerja kreatif asal Indonesia yang bekerja di luar negeri, Anda membawa value dan perspective baru yang mereka mungkin tidak dapatkan kalau mereka mempekerjakan desainer lokal di sana.
Bekerja di luar negeri bukan hal yang sepele dan banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Celcea ingin semua pekerja kreatif yang sedang berpikir untuk memulai karir mereka di luar negeri untuk mengingat bahwa setiap tempat, kota, dan negara itu ada plus-minus-nya. “Choosing to work abroad must be done as a conscious decision,” ucapnya. Gerson pun memperingatkan hal yang sama. Dia menyarankan jika Anda masih ada rasa imbang tentang menempuh karir di luar negeri, lebih baik jangan dulu. Dia juga ingin menyampaikan kepada pekerja kreatif Indonesia yang sedang atau pernah bekerja di luar negeri bahwa kembali ke Indonesia dan membenahi industri di negara ini kalau Anda mampu adalah hal yang sangat layak dipuji. Celcea dan Ardo berpendapat bahwa sekarang dengan maraknya kerja remote di era pandemi, klien luar jauh lebih mudah untuk didapatkan. Jadi jika Anda sedang berpikir untuk menempuh karir sebagai pekerja kreatif di luar negeri, pastikan itu adalah pilihan yang paling tepat untuk Anda.
Berkaca pada pengalaman 5 pekerja kreatif Indonesia yang bekerja di luar negeri, kita bisa melihat masih banyaknya lubang yang perlu diperbaiki di lapangan pekerjaan pada bidang desainer grafis di negara ini. Namun, tentu saja tulisan ini bukan untuk mengutuk kondisi yang ada. Sebaliknya, semua pihak yang terlibat, baik desainer grafis, klien, maupun pemerintah, bisa mengadaptasi serta belajar dari kasus di luar sana untuk membuat kondisi desain grafis di ranah profesional lebih sehat dan berkelanjutan.