Cerita di Balik Lensa Leandro Quintero
Mata Leandro Quintero mampu menangkap esensi keintiman dan kejujuran lewat lensa, membuatnya menjadi salah satu fotografer berbakat dengan karya yang memikat. Di tengah jeda minum kopi pasca rutinitas lari paginya, Leandro Quintero, fotografer asal Argentina yang kini berbasis di Indonesia, berbagi kepada Grafis Masa Kini soal perjalanan artistiknya dan proses di balik karya-karyanya.
Pertemuan Leandro dengan praktik fotografi terjadi pada 1994, saat Leandro masih remaja dan menghabiskan waktu senggangnya bermain skateboard. Baginya yang tubuh di jalanan Buenos Aires, setiap hari adalah petualangan, yang kemudian membawanya kepada perkenalan dengan kamera milik temannya di acara malam perpisahan. “Semua orang bersenang-senang, sehingga saya harus merekam setiap momen untuk menjadi kenangan. Itulah pertama kalinya saya bertemu dengan jendela bidik dan tidak ada jalan untuk kembali hingga saat ini,” cerita Leandro. Sang fotografer percaya bahwa hidupnya sama sekali tidak dapat dipisahkan dari praktik fotografi. “Awalnya hanya kesenangan untuk mengumpulkan memori dan kenangan, lalu akhirnya saya menemukan bahwa kamera adalah alat yang luar biasa untuk bercerita dan menciptakan objek. Gambar adalah objek yang memiliki energi,” imbuhnya.
Sebelumnya, Leandro sudah pernah berkenalan dengan seni fotografi melalui puisi. “Ibu mengenalkan saya pada kebiasaan membaca yang dimulai dari buku fiksi ilmiah seperti Ubik karya Philip K. Dick.” Bagi Leandro, buku tersebut terlalu rumit karena ada banyak dunia dan karakter yang perlu diingat. Hingga akhirnya Leandro mencoba untuk membaca puisi dan mempelajari karya surealis Prancis yang menjadi gerbang masuk Leandro ke dunia seni visual. “Bagi saya, manifesto surealisme oleh André Breton adalah pengalaman before and after, ya. Lalu, saya berkenalan dengan karya-karya Man Ray yang mendorong saya untuk menjelajahi seni lebih luas lagi. Tetapi, puisi tidak diragukan menjadi pemicu ketertarikan pada fotografi dan seni.” Pada 1999, tepat sebelum meninggalkan Argentina, ketertarikan Leandro pada seni fotografi semakin besar. Hal itu dipicu dengan kedatangan seorang kenalan dari Eropa yang membawakan edisi pertama Purple Magazine. “Saya terpesona! Semuanya begitu segar, sangat artistik, fashion menjadi lambang anti-glamor. Saya tertarik dengan semua elemen editorialnya, cara bercerita, narasi, dan masih banyak lagi,” ungkap Leandro.
Setelah tinggal di Berlin, Jerman, pada 2014, Leandro tiba di Indonesia. Melihat skena fotografi Ibu Kota pada saat itu, Leandro merasa karyanya terlalu lugas dan raw punk untuk estetika Jakarta yang begitu minimalis dan “terjajah” sepenuhnya oleh pengaruh estetika barat—gaya artistik yang menjadi alasan Leandro hengkang dari Berlin. “Di satu sisi saya menemukan gaya ‘generasi dinosaurus’: pengaruh sisi buruk dari estetika tahun 90-an yang sangat ketinggalan zaman; estetika orang kaya baru yang penuh delusi fashion dan kemewahan; di sisi lain, ada estetika pemuda yang dipengaruhi majalah Kinfolk. Sangat membingungan bagi saya yang masih culture shock,” ceritanya. Datang dari Berlin, Leandro terbiasa dengan seni dan fotografi jalanan, sedangkan di Indonesia sulit menemukan jalan untuk menggagas pameran fotografi, ditambahkan dengan estetika anti-fashion. “Jadi, semuanya benar-benar menakutkan. Namun, karena itu, ada peluang besar untuk membuka ruang untuk itu (fotografi jalanan),” imbuhnya.
Proyek pertama yang Leandro kerjakan di Indonesia adalah kolaborasi bersama fashion designer tersohor, Sherly Hartono, dengan tata busana oleh Karin Wijaya. “Koleksi tersebut terinspirasi dari cara orang biasa berpakaian di jalanan,” jelas Leandro. Dari sudut pandang fotografer, Leandro berpendapat bahwa proyek tersebut merupakan rangkuman visual soal gambaran Indonesia apa adanya. Alih-alih meniru estetika barat, proyek tersebut menyuntikkan substansi budaya keseharian Indonesia sendiri. Bagi Leandro, keautentikan realita keseharian tersebut sangatlah penting untuk dirayakan. “Aku ingat momen di dalam mobil bersama seorang fotografer muda yang berbakat. Kita sedang ngobrol dan saya bilang bahwa kehidupan jalanan di Indonesia sangat menginspirasi. Dia kemudian mengatakan bahwa semua terlihat buruk di Jakarta, gambar apa yang bisa diambil? Di dalam hati, saya bilang ‘Semuanya!’ Untungnya beberapa tahun kemudian, ia meninggalkan mentalitas tersebut,” kenang Leandro.
Kolaborasi Leandro bersama Sherly Hartono membuka kesempatan lebih luas lagi bagi Leandro untuk berkarya dan berkolaborasi dengan merek-merek fashion lokal dan internasional. Dengan segudang pencapaian dan karya di dunia fotografi, Leandro tidak pernah melihat suatu proyek sebagai hal “monumental”. Bagi Leandro, pencapaiannya adalah rasa syukur atas kesempatannya mencari nafkah dengan melakukan hal yang ia sukai dan menjadi orang yang terbuka dengan rasa ingin tahu yang tinggi, sehingga ia bisa terus melakukan dan menikmati hal yang ia cintai. Seperti semua yang bekerja di industri kreatif, momen pasang dan surut adalah hal yang kerap dijumpai. Titik terendah bagi Leandro adalah saat ia merasa “mati, tidak memiliki keinginan untuk mengamati lingkungan sekitarnya, dan membiarkan kameranya berdebu. “Untungnya, momen tersebut diperlukan agar kita lebih menghargai tersebut, dan titik terendah itu tidak pernah berlangsung lama.” Berasal dari keluarga kelas menengah, Leandro mengakui bahwa ia tidak pernah mengalami depresi, “Itu masalah orang kaya yang mempunyai waktu dan uang,” katanya sambil bergurau.
Leandro menceritakan bahwa ada banyak orang-orang dari komunitas kreatif di Indonesia yang memiberikan pengaruh besar terhadap dirinya dan karyanya. “Secara garis besar, komunitas fashion dan kreatif, serta orang-orang yang saya hormati, mulai dari penata gaya, direktur kreatif, desainer grafis, sesama fotografer, penulis, seniman, atau sekadar penikmat,” ungkapnya. Leandro kemudian menyebutkan beberapa nama yang membantunya sepanjang kariernya di Indonesia seperti fotografer Nadia Razak, kontak pertamanya dengan orang Indonesia. “Dia adalah teman satu flat saya selama tinggal di London dan orang yang merekomendasikan saya pada Sherly Hartono,” ungkap Leandro. Leandro juga berterima kasih pada Karin Wijaya yang baginya merupakan penata gaya terbaik dan orang yang paling rendah hati. “Kemudian, saya suka karya Try Sutrisno, Lilian Ng, Jonathan Andy Tan yang membuat saya senang bekerja dengannya karena kami melihat fashion dengan selera humor yang tidak terlalu serius.” Leandro pun menyukai karya Rahajeng yang menurutnya penuh sensualitas. “Semua tim Pear Magazine, menurutku mereka melakukan pekerjaan dengan luar biasa: Torik Danumaya, Andrea Reza, Yosefina Yustiniani (alias istriku), tidak hanya aku suka karyanya tapi yang pasti dia mendukungku setiap hari sejak lima tahun terakhir ini,” kata Leandro. Ada banyak nama lagi yang mendukung karya Leandro: direktur kreatif Stacia Hadiutomo, Christine Fenty Lafian dan mereknya, Suku, Michael Killian, dan sederet desainer grafis; Jordan Marzuki, Fandy Susanto, Januar dari Further Reading, Artivora, illustrator Debbie Tea, Arswandaru, Deborah Wangsaputri dari Rubber Time Journal, Martin Westlake, Davy Linggar, Anton Ismael, Reuben Tourino, Muhammad Fadli, dan kelompok anak-anak muda; Vicky Tanzil, Thomas Danes, Hilarius Jason, Ikmal Awfar, Sharon Angelia, Arief Ointoe, Dennis Arthurm, dan seniman kesayangannya; Natasha Tontey dan Angela Judiyanto. Selain dari dunia seni visual, Leandro juga menyebutkan nama-nama tersohor dari dunia fashion seperti Januar Toton, Sherly Hartono, Galuh Anindita, dan Patrick Owen.
Karya fotografi Leandro, baik proyek insiatif sendiri maupun kolaborasi, sangatlah intim, membuat siapapun yang melihat dapat merasakan emosi yang disampaikan dan masuk ke dalam interaksi yang terjadi di setiap bingkainya. Bagi Leandro, karyanya dapat terasa begitu dekat dan intim karena pengamatannya sangat internal walaupun ia bekerja di permukaan. “Saya ingin menjalani kehidupan saya tanpa efek khusus, tanpa mengagungkan atau mempercantik hal-hal di sekitar secara berlebihan,” ungkap Leandro. Idealisme tersebut tercerminkan lewat karya-karyanya yang jujur, sederhana, tapi tetap memikat. “Dengan rasa kejujuran yang tidak dapat dihancurkan, dengan keutuhan hidup, dengan itu lah cara saya memotret, saya rasa, mendekati tepian banalitas yang menjarah keheningan dengan vandalisme visual yang halus tapi puitis,” imbuhnya. Proses di balik konsep-konsep kreatif Leandro sendiri didorong oleh urgensi untuk menyampaikan pesan tertentu lewat kamera. Inspirasinya pun datang dari mana saja, mulai dari diskusi budaya, membaca, sinema, seni secara keseluruhan, hingga percakapan tentang politik, sosiologi, filsafat, rasa ketidakpuasan atas berbagai hal, perdebatan cara berpikir baru, dan masih banyak lagi. Dalam pekerjaannya sebagai fotografer, Leandro pun menyeimbangkan antara proyek untuk klien dan passion project. Ketika mengerjakan proyek untuk klien, fokus utama Leandro adalah menyenangkan klien dengan membuat merek mereka lebih menarik dari sebelumnya. Sedangkan passion project, bagi Leandro, penting untuk tetap diwudukan untuk mencapai sinergi tertentu dengan tim kerja, serta untuk menjaga kewarasan dan kesehatan mental layaknya pergi ke gym atau berolahraga. “Khususnya di tengah masyarakat yang sumber inspirasi utamanya adalah budaya konsumsi,” imbuhnya.
Ketika ditanya soal proyek ke depan, Leandro mengungkapkan bahwa ia sedang mengembangkan dua zine dan satu buku yang memerlukan riset lebih dalam. “Untungnya, proyek ini membuat saya harus lebih sering keluar rumah dan menciptakan karya fotografi lebih banyak lagi.” Di masa depan, idealnya bagi Leandro adalah menjadi orang tua paling bahagia yang mampu hidup dari mencetak dan menjual karya seni atau apapun yang berhubungan dengan dunia visual, mulai dari kurasi hingga produksi secara umum. Leandro pun terus membuka kemungkinan kolaborasi, dengan catatan: “Khususnya dengan orang-orang yang tidak mencari validasi dan mereka yang menginginkan terapi kreatif.” Leandro pun ingin terus mengembangkan dirinya dan bertumbuh di dunia fotografi. Sulit bagi Leandro untuk menjelaskan bagaimana cintanya pada fotografi berkembang dari waktu ke waktu. Namun, Leandro merasakan evolusi dan pertumbuhannya dalam seni fotografi, seperti penjelasannya, “Menurut saya, evolusi yang saya alami adalah kemampuan menangkap hampir semua hal di realita ini tanpa kehilangan individualitas saya.” Ketertarikan Leandro dengan seni visual, khususnya fotografi, merupakan jalan pembebasan dari hal-hal yang tabu. Seni baginya merupakan tindakan naluriah untuk mengintervensi dan menghargai kehidupan, berhubungan dengan masa kini, dan mematahkan status quo tertentu. “Saya merasakan hal yang sama ketika mulai mengoceh, melihat orang-orang tanpa ponsel di lantai dansa melakukan kontak mata, tidak ada yang peduli apakah kamu berusia 15 atau 50 tahun, atau cara berpenampilanmu. Kami dibebaskan melalui bunyi-bunyi tekno, lantai dansa seperti taman kanak-kanak yang menyenangkan untuk kami semua. Lingkungan sosial sudah sangat represif. Kami tidak ingin menjadi ‘seseorang’ atau divalidasi,” ungkap Leandro. Menutup obrolan, Leandro mengatakan bahwa seni dan ocehan merupakan platform yang sangat membebaskan untuk terus bertransformasi dan berkembang.