Praktik Berkesenian yang Sejalan dengan Kehidupan bersama Sanchia Hamidjaja
Di margin buku-buku pelajaran itu Sanchia Hamidjaja kecil kerap membuat coretan dan gambar. Ketertarikannya pada seni visual sudah tumbuh setidaknya sejak kelas 3 Sekolah Dasar sejauh yang Sanchia ingat. Ia sangat menyukai pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam lantaran banyak sekali gambar-gambar di buku pelajaran tersebut. Selain itu, pada pelajaran tersebut pula Sanchia bisa mencurahkan kegemarannya menggambar karena kerap diharuskan membuat gambar daun, organ tubuh, dan sel dalam mikroskop. Sanchia juga dibesarkan di keluarga yang menurutnya memiliki apresiasi yang tinggi terhadap seni. Saat kecil, ia sering diajak orang tuanya melihat pameran seni di berbagai galeri.
Selepas Sekolah Menengah Atas, dirinya meneruskan studi Desain Komunikasi Visual (DKV) di Swinburne National Institute of Technology, Melbourne, Australia. Baginya, disiplin ilmu tersebut sangat memengaruhi proses bekerja dan berkaryanya saat ini.”Di DKV sendiri kita diajarin problem solving, merespon isu-isu, dan mencoba mengomunikasikan lewat visual. Kebanyakan karya-karya saya seperti itu. Respon audiens atau cara audiens menginterpretasikan atau relate ke karya saya menjadi hal yang terpenting. Sampai sekarang approach terhadap membuat karya masih seperti itu. Serba pragmatis,” Sanchia menuturkan.
Selepas lulus, Sanchia masuk ke industri periklanan. Soal keprofesiannya saat itu, ia mengatakan, “Pada saat itu, industri periklanan tuh terlihat sexy banget karena waw bisa ya ngantor tapi bentukan tetep jadi diri sendiri. Enggak jadi korporat executive banget, gaji lumayan pada saat itu, lifestyle-nya seru ala madman. Pada zaman itu juga dunianya belum se-supportive sekarang terhadap orang-orang creative, ya. Akhirnya, bisa nemuin supportive like minded people di sini dan creative geniuses. Di situ saya dapet semuanya. Bekerja dengan team, terbentuk mental badak dan palugada, dan belajar untuk marketing diri sendiri lewat network-network yang tepat.”
Pada tahun 2010, dirinya mendapat tawaran untuk membuat pameran tunggal. “Memang selama kerja di periklanan, dengan segala tekanan dan keterbatasan menimbulkan keresahan untuk berkarya sesuka saya, jadi dengan sendirinya terbentuk body of work yang cukup kuat untuk dipamerkan,” ungkapnya. “Saya memutuskan untuk jadi full time artist simply out of convenience dan kebutuhan waktu yang lebih intens tanpa gangguan kerjaan kantor dan untungnya bisa-bisa aja bertahan sampe akhirnya pandemi balik lagi deh ke ad agency,” ia terkekeh. “Jakarta keras kalo kata orang-orang. Buat saya, Jakarta itu mahal.”
Keseharian Sanchia adalah inspirasi terbesar baginya dalam berkarya. Ia pun cukup peka untuk merespon isu-isu yang terjadi yang memang meresahkan dirinya secara personal. Sanchia selalu berupaya untuk tidak melihat karya orang lain sebagai referensi walau ia akui hal tersebut cukup sulit. Dalam berkarya, Sanchia mencoba selalu berangkat dari tujuannya berkarya dan apa yang ia ingin komunikasikan.
Soal referensi visual, Sanchia sebagian besar dipengaruhi oleh tontonannya pada usia remaja, seperti The Simpsons dan Ren and Stimpy. Buku anak yang dulu ia baca—dan kini ia bacakan untuk anaknya—juga punya peran dalam karakter visual Sanchia. Namun begitu, dirinya tak ingin terkekang pada satu gaya visual tertentu. “Mungkin lebih enggak mau bertahan di satu style karena versatility itu penting bagi saya untuk sustain di industri dan menjadi bagian untuk selalu berkembang dan terus explore,” Sanchia berpendapat.

Sebagai pelaku di industri kreatif dan seniman, Sanchia terus bereksplorasi di tengah adaptasi yang ia upayakan. “Semua ini ternyata harus sejalan dengan kehidupan saya sekarang. Karena sudah menjadi ibu juga mengubah cara saya bekerja. Kecepatan saya kerja misalnya. Jadi, lebih banyak kerja di iPad karena bisa dibawa kemana-mana. Dengan alat baru itu juga dengan sendirinya mengubah style. Initinya di usia ini, saya memilih kenyamanan juga while keeping my mind open.”
Soal pengalamannya sebagai seniman perempuan dan ibu pun hadir dalam banyak karyanya. Sanchia punya pandangan sendiri soal posisi perempuan di ranah seni ini. “Perempuan diharapkan untuk try harder, put more effort despite our given role in the household and society. Kita masih harus bekerja keras 1000% untuk mencapai apa pun itu. It’s never the same playing field as men. Yang paling penting, memiliki partner hidup yang bisa diajak kerja sama,” ucapnya.
Karya-karya ilustrasi Sanchia kerap menggelitik dan relevan bagi publik. Biasanya proses berkaryanya diawali dengan mengobrol atau mendengarkan cerita orang dan melihat apa yang ada di media sosial. Sanchia menjelaskan lebih jauh, “Dari situ biasanya nge-trigger untuk tau lebih banyak. Biasanya dari dengerin podcast yang membicarakan topik yang sama, baca artikel-artikel, ngobrol-ngobrol sama temen-temen yang memiliki keresahan yang sama atau yang memang pengamat juga. Contohnya, di project komik saya dan Mar Galo yang bernama Problema Nona, prosesnya berawal dari membuka story submission di mana perempuan-perempuan boleh curhat ke kita dalam topik yang sudah ditentukan. Biasanya topik yang lagi rame di saat itu, ya. Bisa secara anonim maupun tidak. Lalu kami olah jadi komik dan pembahasan di podcast.
Sanchia cukup aktif soal eksplorasi media dalam berkarya. Karyanya dapat ditemui mulai dari media cetak, mural, sampai digital. Menurut Sanchia, keberaniannya dalam menguji coba banyak media berawal dari kenekatan dan rasa penasaran. “Ketika opportunity itu muncul, ada kesempatan untuk mencoba media lain, saya langsung coba aja. Dari itu semua disortir lagi yang nyaman yang mana, baru deh didalemin. Tentunya balik lagi dari tujuan karyanya, bagusnya di media apa, yang mana yang lebih efektif,” tambahnya.
Komik dan novel grafis adalah media yang akrab bagi Sanchia. Namun, ia pun menyadari media tersebut kurang cukup populer di Indonesia. “Opini gue, ya. Apapun bentuk seninya, selama negaranya tidak kondusif, tidak mengerti atau men-support komunitas seni, akan begini-begini aja sih. Kenyataannya di luar itu, orang-orang punya waktu dan kemampuan yang sama, juga keran funding dari negara itu terbuka lebar untuk berkarya. Sementara di sini, masih bergantung sama swasta, corporate atau yayasan. Jadi memang semua tergantung kitanya mau seniat apa memperjuangkan karya kita. Apalagi yang medianya long form comic yang pasti memakan waktu lama untuk digarap,” Sanchia mengakhiri obrolan.